Jumat, 23 November 2012

PANCASILA ANTARA IDEOLOGI BANGSA DAN SLOGAN



P
esta demokrasi memperebutkan kursi DKI 1 begitu semarak dan hebatnya. Semua kandidat menunjukan karya-karya terbaiknya sebagai cerminan kepemimpinan yang akan datang. Dari mulai jalur sosial, intelektual hingga azas keagamaan pun menjadi ajang tanding, hingga mencuat isu SARA tentang ras dan agama salah satu calon kandidat. Ayat-ayat suci agama pun dijadikan senjata kampanye untuk mensosialisasikan kandidat tertentu. Dalam kurun waktu singkat, seorang musisi disulap menjadi ulama politik yang handal mengunakan ayat-ayat suci hingga mendeskreditkan kandidat tertentu pula. “Haram hukumnya jika umat Islam dipimpin oleh Pemimpin yang bukan muslim (kafir)” dan “Allah akan memusuhi umatnya yang memilih pemimpin dari golongan orang kafir” ujar sang raja dangdut.

Apakah PANCASILA yang merupakan satu dari empat pilar bangsa ini, masih diposisikan sebagai ideologi bangsa atau kini hanya menjadi hiasan dan sebuah slogan semata.

Ada sebuah pembuktian besar dibalik terungkapnya pernyataan SARA yang dilakukan raja dangdut tersebut. Hal ini bukan hanya sekedar pernyataan untuk mendeskreditkan salah satu kandidat dan memenangkan kandidat lain, tapi ada sebuah kenyataan besar yang terungkap tentang tata cara beragama bangsa Indonesia saat ini.

Pernyataan tersebut adalah sebagian kecil dari begitu banyaknya doktrin agamais yang disebarkan untuk menciptakan jurang pemisah antar umat beragama, yang dulu dilakukan secara diam-diam namun kini dilakukan secara terang-terangan.

Para pakar-pakar agama tidak lagi mementingkan kesucian iman umat pada tuhannya, tetapi memberitakan perbandingan-perbandingan yang menjelekan agama lain. Mereka tidak lagi memberitakan jalan pada umat untuk mempertebal iman ketuhanannya, tetapi mengajarkan agar umatnya mempertebal rasa perbedaan kepada umat lain yang berbeda agama. Dan saat ini, hal ini terjadi di semua agama di bangsa ini.

Agama yang menjadi salah satu inti dibentuknya PANCASILA sebagai pilar pemersatu bangsa, kini menjadi pemecah belah bangsa. Agama yang merupakan penghubung antara manusia dengan Tuhan, kini tidak diposisikan sebagaimana mestinya.

Demokrasi dan Kerukunan Antar Umat Beragama hanya menjadi lips service para pemuka-pemuka agama di depan umum, namun tetap menerapkan dan mengajarkan perbedaan pada umat-umatnya.

Melihat kenyataan bangsa saat ini, sungguh menyayat perasaan. Gereja ditutup dimana-mana hanya karena permintaan sekelompok orang yang mengatasnamakan sebuah agama. Saat salah satu agama menjalankan ritual tahunannya, seluruh tempat penjualan makanan ditutup secara paksa, seakan-akan peraturan bangsa tidak berlaku disana. Larangan agama untuk tidak bertindak semena-mena dihalalkan demi hal-hal yang diangap tidak sesuai ajaran agama tertentu.

Pemerintah yang memiliki andil untuk meluruskan seluruh permasalahan dan egoisme kelompok agama tersebut, kini malah diluruskan oleh kelompok-kelompok agama tertentu. apakah memang pemerintah tidak berdaya, atau malah pemerintah setuju dengan aksi tersebut, karena kesamaan agama antara mayoritas penyelengara negara dengan kelompok tersebut. Dan apakah tidak ada tempat lagi di bangsa ini bagi masyarakat yang beragama minoritas.

Berdengung di telinga saya ucapan Bung Karno yang selalu diteriakan Permadi dalam setiap orasinya, “Hei Bangsaku, jika kau ingin mempelajari agama. pelajarilah ia hingga menemukan apinya, jangan hanya belajar menemukan abunya”. Jika ucapan ini diikuti dan diterapkan, maka tidak akan ada perbandingan atara agama yang satu dan yang lain, tidak akan ada organisasi agama tertentu yang merasa paling suci dan bertindak sesuka hatinya, dan tidak akan ada ulama-ulama yang mempolitisir ayat-ayat suci demi kepentingan tertentu semata.

Akankah empat pilar bangsa yang selalu dielu-elukan, dan dipamerkan para pendiri bangsa sebagai produk bangsa Indonesia yang tidak dimiliki negara lain, tetap akan menjadi ideologi bangsa, atau suatu saat hanya akan ada di buku sejarah yang tertata apik di perpustakaan nasional, karena bangsa ini telah melupakan budaya keagamaan asli pertiwinya dan berbangga diri dengan kebudayaan agama bangsa luar.